Breaking News

REGIONAL IAS Nusantara: Salah Rekrut Calon Pemimpin Sama Saja Menyimpan Sampah 03 Oct 2017 23:10

Article image
Ansy Lema, Pemerhati Politik dan juga alumni Syuradikara angkatan 94. (Foto: ist)
“Politik itu bonum commune, how to get power dan how to use power. How to use ini yang tidak banyak. Ini pekerjaan rumah kita bersama...”

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Ikatan Alumni SMUK Syuradikara Nusantara (IAS Nusantara) memberikan catatan kritis sekaligus solusi terkait leadership dalam membangun NTT baik dari sisi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Catatan dan gagasan itu mengemuka dalam acara Talk Show  di sela temu kangen alumni yang digelar di Aula Universitas Pertahanan RI, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu 30 September lalu.

Acara temu kangen yang dihadiri sekitar 400 alumni, dan mantan pengajar ini digelar dalam rangka pesta keluarga memperingati HUT SMAK Syuradikara ke 64, yang mengusung tema tema "Kobarkan Semangat Syuradikara."

Tampil sebagai salah satu pembicara, Ansy Lema, Pemerhati Politik yang juga alumni Syuradikara, menegaskan bahwa mutu sebuah kebijakan tergantung pada pemimpinnya (leader). Sejatinya, seorang pemimpin adalah perintis dan pemberi arah dengan misi dan visi yang jelas.

“Dalam politik, pemimpin harus lengkap dalam tiga hal, logis, etis, estetis. Tetapi memang cari pemimpin yang demikian tidak mudah,” kata alumuni angkatan 94 ini.

Thobyas Djadji, Enterpreneuner dan Pakar SDM yang juga menjadi pembicara diskusi tersebut juga menegaskan, seorang leader atau pemimpin harus mempunyai kapabilitas. Dalam hal ini pemimpin harus bisa memberi arah, indpirasi, mengelolah perubahan, mitigasi krisis, dalam meresolusi konflik, dan adaptif.

“Tetapi inspirasif itu itu bukan memberi inspirasi, tetapi memberikan keyakinan kepada yang lain juga untuk bisa menerima dan melakukan perubahan secara bersama-sama,” kata alumni Syuradikara yang pernah menggawangi Divisi HRD Perusahaan Minyak asal Prancis, Total EP ini.

Lantas bagaimana men-develop leader tersebut? Thobyas sepakat pula bahwa proses development leader bisa dimulai dengan rekrutmen, penempatan, pelatihan, pembentukan. “Salah rekrut, kita menyimpan sampah,” tukasnya.

Kendati demikian, bagaimana pun tantangannya, lanjut Ansy, membangun Indonesia hari ini, harus dimulai dari daerah oleh karena paradigma pembangunan saat ini bukan lagi sentralistik. Hanya saja, mutlak persyaratannya adalah bahwa sebuah daerah maju karena sungguh-sunguh ada pemimpin.

“Kita bisa lihat Surabaya maju karena ada Risma, Bandung ada Ridwan Kamil, Bantaeng ada Prof Nurdin Abdulah. Banteang ini dulu tertinggal dan sekarang jadi kabupaten contoh bagi daerah lain. Banyuwangi juga demikian, sudah banyak berubah,” urainya.

Artinya, lanjut mantan aktivis 98 ini, bahwa pembangunan di daerah butuh aktor pempimpin yang mempunyai keutamaan. Masalahnya, pola rekrutmen pemipin saat ini base on partai. Sehingga untuk menghasilkan pemimpin yang baik, maka mekanisme rekrutmenya harus baik. Dalam kondisi ini, ada kebutuhan transformasi partai politik menajadi lebih modern. Dalam hal ini, ada prinsip meritrokrasi (merit system) yang harus menjadi pegangan partai.

“Saya lagi peduli dengan pemimpin di NTT. Kita juga butuh pemimpin yang memiliki keutamaam, karena masih ada masalah sanitasi, gisi buruk, dll. Repotnya kita rasis. Saya akan pilih gubernur yang sedaerah dengan saya. Jadi merit system itu belum menonjol di proses politik kita di NTT,” tegas Ansy.

Mantan Jubir Ahok-Djarot di Pilkada DKI ini menambahkan, “Politik itu bonum commune, how to get power dan how to use power. How to use ini yang tidak banyak. Ini pekerjaan rumah kita bersama.”

--- Sandy Javia

Komentar