Cerpen Ayah : Untuk Ayah, Karena Allah
Sosok dalam bingkai foto itu tersenyum kepadaku. Alhasil,
cermin menangkap basah raut rindu yang tak bisa kusembunyikan. “Kullu nafsin
dzaiqotul maut”, Ayah membuatku percaya akan hal itu. Kesendrian dengan balutan
kain kafan dan posisi menghadap ke qiblat, sooner or later semuanya akan
mengalami hal itu.
“Meskipun Ayah bukan orang baik, tapi kamu harus jadi orang
yang baik”. Mengingat kalimat itu, air mataku dengan sigap keluar dari tempat
persembunyiannya. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Ayah setelah
kami meninggalkan rumah terakhirnya. “Ya Allah… apa disana Ayah disiksa karena
Nara?”, tanyaku pada-Nya. Aku merasa sudah menutup aurat setiap keluar rumah.
Namun, ternyata yang kulakukan hanya membungkus.
”Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullah mengatakan, makna Kasiyatun
‘Ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan
bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib
ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya
mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126).
Aku seorang gadis 17 tahun yang zona nyaman pakaiannya ada
pada ripped jeans, kemeja crop, dan jilbab disimpul kebelakang leher. Yah,
akulah gadis yang termasuk golongan perempuan yang tidak akan dapat masuk surga
dan bahkan tidak akan dapat mencium wangi surga, padahal, wangi surga itu dapat
tercium dari jarak yang ditempuh sekian dan sekian lamanya.Selama ini aku tidak
tahu dan tidak mencari tahu tentang hal itu. Hingga pada akhirnya aku diberi
tahu dan aku memutuskan memecahkan celengan untuk mengawali perubahan cara
menutup auratku, dari zona nyaman menuju zona aman. Parubahan itulah yang
mengawali pergantian suhu hubunganku dengan Bunda, yang tadinya hangat berubah
menjadi dingin.
Berbicara tentang Bunda, aku pun tersadar bahwa waktu sholat
subuh sudah berganti menjadi waktu sholat dhuha. Namun, tak ada tanda-tanda
Bunda pulang kerumah. Aku beranjanak dari kasur menuju dapur untuk menyiapkan
sarapan. Kurasa pagi ini untuk pertama kalinya setelah ayah tiada, aku sarapan
tanpa Bunda. Aku mulai menyentuh peralatan dapur dan membuat menu sarapan
andalan keluarga, telur mata sapi. Sejak dulu Bunda sangat menyukai makanan
ini, selain biayanya sesuai dengan kondisi perekonomian keluargaku yang
menengah kebawah, telur mata sapi juga mempunyai filosofi yang memotivasi bagi
Bunda. “Belajarlah untuk tulus seperti seekor ayam. Ayamlah yang mengandung dan
menetaskan telur. Namun, setelah telur itu digoreng mata sapi, yang harum
namanya adalah sapi bukan ayam”, begitulah yang sering dijelaskan Bunda padaku
dan Ayah. Lagi-lagi aku terjebak nostalgia.
Hari ini adalah subuh terbaik dan terburuk dalam hidupku.
Terbaik karena untuk pertama kalinya, suara adzan subuh dirumahku terdengar
jernih tanpa beradu dengan tuts piano yang mengalunkan lagu lawas. Terburuk
karena tanpa kehadiran sosok Bunda yang selalu memanfaatkan waktu subuh untuk
melatih hobi sekaligus profesinya sebagai penyanyi. Sepertiga malam yang
kulalui pun berbeda setelah berpulangnya Ayah pada Allah. Tak ada lagi suara
cambukan ikat pinggang untuk perempuan yang membeci semerbak aroma alkohol yang
keluar dari tubuh Ayah. Lenyap sudah suara adu amarah dari Ayah dan Bunda. Namun, dibalik kenyataan ini aku selalu
meyakini bahwa Allah maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui.
Susu putih dan telur mata sapi sudah tersaji rapi di meja
makan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, tapi aku belum berniat memulai
sarapan hingga aku benar-benar kelaparan. Aku akan terus menunggu Bunda. Menit
pertama menunggu aku manfaatkan untuk mengingat kejadian beberapa hari lalu.
Waktu itu aku mencoba berdialog dengan Bunda tentang niatku untuk berhijab
syar’i. “Ini Jakarta, Kinara. Bukan Mekah! Ayahmu pendosa! Meskipun kamu
menjadi ustadzah dia tidak akan masuk surga!”. Itulah jawaban Bunda. Aku
berusaha menasehati Bunda untuk memaafkan Ayah, sebab Allah akan memberikan
pahala dan memuliakan orang-orang yang pemaaf. Waktu itu aku juga berkata,
“Justru karena Ayah seorang pendosa, Nara ingin meringankan beban Ayah
diakhirat, Bun…”. Dan yang terjadi adalah Bunda langsung berangkat kerja dan
meninggalkanku begitu saja. Sejak saat itu, dialogku dan Bunda jadi berbeda
karena Bunda yang membeku dan aku yang tak bisa mencairkan suasana. Untuk
mencapai suatu puncak, tentu harus melewati tanjakan dan rintangan. Meskipun
tanpa restu dari Bunda, aku tetap pada hijrahku. Lemariku yang semula hanya
didominasi rippedjeans dan kemeja, kini telah ada beberapa gamis dan rok selain
rok seragam sekolahku dulu.
Lima menit pertama telah berlalu, dan Bunda masih belum
mengisi kursi dihadapanku. Lima menit kedua, aku mencoba mengingat lagi apa
kesalahanku hingga Bunda enggan pulang ke rumah. Hari itu, berbekal ijazah SMK
Tata Busana dan gamis beserta khimar lebar yang kukenakan, aku mencoba melamar
pekerjaan dibeberapa tempat yang menerima lulusan SMA dan sederajatnya.
Hasilnya hotel, restoran, bahkan tempat foto kopian menolakku. Alasannya sama, hijab
syar’i-ku, dan jika aku ingin diterima maka aku harus memakai seragam tanpa
mengenakan hijab atau menggantinya dengan pakaian kaum Kasiyatun ‘Ariyatun
seperti yang dulu aku kenakan.
Asaku hampir putus jika saja aku tidak mengingat
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’I bahwa “Allah sangat
mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Allah menghalangi perkara
tersebut agar ia kembali berharap kepada Allah SWI.” Miracle I Do, Impossible I
Try, aku akan lebih bodoh dari karakter film My Stupid Boss jika saja aku
menyerah untuk mencari pekerjaan. Swalayan 24 jam adalah tempat terakhir yang
kudatangi. Jika sebelumnya aku ditolak, maka saat itu aku yang menolak, sebab
aku diterima sebagai kasir dengan sift pukul 21.00-03.00 pagi. Aku tidak ingin
mengorbankan waktu tidur dan sholat malamku hanya untuk lembaran rupiah.
Sepuluh menit sudah aku flashback. Sekarang aku tahu, dimana
letak kesalahanku. Aku beralih dari meja makan menuju piano yang biasa Bunda
mainkan. Kemarin, dihadapan piano inilah aku membuat kesalahan pada Bunda. Aku
melakukan penolakan untuk mengajari Bunda memainkan sederet lagu English top
hitz yang diminta bosnya. Fetish, Desspacito, Versace on the flor, Marvin Gaye,
Pillowtalk, judul-judul itu tertera di page
turner. Merekalah yang membuatku tak bisa mengajari Bunda. Bagaimana mungkin
aku mengajari Bunda menyanyikan dan memainkan lagu yang maknanya tidak baik
itu. Hal itu sama saja dengan membuat
Bunda dibenci Allah, apalagi Bunda seorang perempuan yang seharusnya menjaga
suara karena termasuk bagian aurat. Alhasil, Bunda kehilangan pekerjaannya
sebagai penyanyi cafe karena tidak bisa membawakan lagu-lagu yang diminta.
Jujur, aku lebih menyukai Bunda
menyanyikan lagu-lagu lawas yang liriknya lebih menenangkan, dibandingkan dengan
lagu-lagu tuntutan zaman sekarang yang liriknya menyesatkan.
Akibat kehilangan
pekerjaannya, Bunda marah besar dan membentakku kala itu.“Kinara! Kamu pikir
dengan jadi orang baik hidup ini akan baik-baik saja?!”, Bunda berteriak
didepan wajahku. “Sekarang Bunda pengangguran! Dan kamu? Karena pakaian
terorismu ini kamu bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan!”, Bunda meremas
ujung jilbab lebarku. “Istigfar Bun.. Nara hanya ingin…”. “Hanya apa?! Hanya
ingin meringankan beban Ayahmu di akhirat dengan cara menambah beban Bunda di
dunia, iya?!”, bantah Bunda. “Nara hanya ingin menjadi anak sholeha dan
berbakti pada orang tua, Bun…”, aku berusaha tenang dan tidak terbawa amarah.
“Kalau kamu ingin jadi anak yang berbakti, turuti kata Bunda! Surga itu ada dibawah
telapak kaki Ibu, bukan Ayah!”. Kemudian Bunda memelankan nada
bicaranya,”Kembalilan seperti Nara yang dulu dan jangan pikirkan Ayahmu
sayang…”, pinta Bunda. Kemudian aku berlutut pada Bunda karena aku tidak bisa
memenuhi permintaannya.
“Mulai nanti malam, Bunda akan bekerja sebagai penyanyi
disebuah bar. Bunda tidak akan melarang kamu menjadi orang baik, tapi kamu juga
tidak boleh memaksa Bunda menjadi orang baik!”, itulah kalimat terakhir Bunda
tadi malam. Saat itu spontan aku memeluk erat kaki Bunda agar tidak pergi ke
bar. Namun, Bunda menepisnya dan lagi Bunda pergi meninggalkanku. Tangisku
pecah seketika. Aku tidak bisa membayangkan Bunda akan menyanyi dibawah
gemerlap lampu club malam dan dikelilingi aroma alkohol. Bagaimana bisa Aku
meneruskan dakwah kepada umat Islam sementara berdakwah untuk keluargaku
sendiri pun aku tak mampu. Kala itu, suara adzan Maghrib memecah prasangka
burukku sekaligus mengingatkanku bahwa dibalik masalah besar yang aku hadapi,
aku masih punya Allah yang Maha Besar. Dalam sujudku, kujumpai Allah untuk
menumpahkan segala resah jiwaku.
“Ya Allah,
Nara sudah mencoba mengajak Bunda kepada hal yang ma’ruf dan melarangnya
pada hal yang munkar, sebagaimana yang Engkau firmankan dalam surah Al-Imran
(3):104. Nara juga sudah mencoba mengalamalkan anjuran Surah As-Shaf (61):23
untuk memberikan contoh dengan memulai dari diri Nara sendiri supaya Allah
tidak marah besar ketika Nara megatakan apa yang tidak Nara kerjakan. Namun,
untuk keberkian kalinya Nara gagal. Nara hanya berusaha untuk menjadi anak yang
sholeha supaya doa Nara bisa menyelamatkan kedua orang tua Nara. Sekarang, Nara
hanya bisa mendoakan Ayah dan Bunda. Allahummagfirlii waliwaalidayya war
hamhumma kama rabbayaanii shoghiiraa. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiiroti
hasanah waqina ‘adzabannar”, doaku usai sholat Maghrib kala itu.
Yah! Itulah sederet kesalahanku pada Bunda. Aku membuatnya
kehilangan pekerjaan, menolak semua permintaannya, dan kini aku membuat Bunda
pergi. Berdoa, dan lagi hanya itu yang bisa kulakukan. Sudah tiga puluh
menit aku menunggu Bunda, cacing
diperutku pun suudah mulai bosan. Akhirnya, aku memutuskan untuk sarapan
sendirian. Baru saja aku hendak menyentuh sarapanku, seorang perempuan dengan
niqab diwajahnya berdiri diambang pintu. Aku menghampirinya dan menatap lekat
iris coklat tua miliknya. Aku seperti mengenali mata itu. Hingga akhirnya
perempuan itu membuka niqabnya dan ternyata…
“Bunda…”, Aku hampir tidak percaya akan apa yang kulihat.
Bunda yang biasanya mengenakan rok selutut dan kemeja ketat, kini mengenakan
busana yang jauh lebih sempurna dari yang aku kenakan. Baru saja aku hendak
berlutut dan memohon maaf, Bunda langsung menahanku dan memelukku. “Maafkan
Bunda, Nara. Sekarang, Bunda tidak ingin melepas pakaian ini, Bunda juga tidak
mau bekerja di bar lagi. Bunda takut…”, dengan bibir memucat dan nafas
terengah-engah Bunda berkata seperti itu. Entah apa yang terjadi pada Bunda
tadi malam, yang kutahu sekarang Bunda terlihat sangat ketakutan. Aku hanya
mengangguk dengan rasa tak percaya akan perkataan itu.
Kemudian aku menuntun
Bunda menuju meja makan. Baru saja aku dan Bunda hendak menyantap telur mata
sapi, suara dering ponselku menghalangi kami. Aku langsung menjawab panggilan
dan mendengarkan suara dibalik ponselku. Tak sepatah kata pun bisa kuucap
hingga panggilan itu berakhir. “Alhamdulillah, Bun.. Nara mendapatkan pekerjaan
sebagai desainer disebuah butik hijab syar’i”. Berkat buku sketsaku yang
tertinggal ketika membeli gamis yang kukenakan, sekarang aku bisa mendapatkan pekerjaan.
Aku terharu, begitu juga dengan Bunda yang ikut mengeluarkan air mata harunya.
Ku hapus air mata surgaku itu dengan lembut. “Bunda terharu. Setelah semua dosa
yang Bunda perbuat, Allah masih mau mengabulkan doa Bunda. Allah benar-benar
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Bunda berkata disertai isakan. “Nara… Bawa
Bunda ke makam Ayah, nak. Bunda rindu…”, pinta Bunda sambil menggenggam
tanganku. Dan lagi aku hanya bisa mengangguk. Hadiah yang luar biasa dari Allah
hari ini membuatku diam seribu bahasa.
Usai melahap sarapan, aku dan Bunda langsung berziarah ke
makam Ayah.Kami membacakan yasin dan berdoa untuk Ayah. “Kun fa yakun”. Hari
ini semua hal yang kuanggap khayalan, Allah sudah membuatnya menjadi kenyataan.
Setelah 5 tahun sejak pemakaman Ayah, akhirnya aku bisa membawa Bunda kembali
berziarah kesini. Hari ini dihadapan nisan Ayah, aku
kembali merasakan sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah yang
sesungguhnya. Aku percaya bahwa family is foundation of everthing, if it’s good
keep it! If isn’t fix it!. “Ayah, hari ini Nara persembahkan hijrah Bunda dan
Nara untuk Ayah, karena Allah”, ucapku dalam hati sambil tersenyum pada Bunda
yang terlihat seperti bidadari surga yang sedang berdoa untuk Ayah.
0 Response to "Cerpen Ayah : Untuk Ayah, Karena Allah"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bijak dan sesuai dengan pembahasan...