Breaking News

INSPIRASI Mayjen Doni Monardo di Mata Tokoh Agama Maluku 16 Aug 2016 16:05

Article image
Mayjen TNI Doni Monardo sedang berbincang akrab dengan Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC. (Foto: ist).
Mayjen Doni memiliki pendekatan yang berbeda. Doni tidak hanya melihat tugas TNI dalam hal pertahanan negara secara militer tetapi juga dari perspektif kesejahteraan masyarakat.

Oleh Simon Leya

SUDAH genap satu tahun Mayjen TNI Doni Monardo memimpin Kodam XVI/Pattimura menggantikan Mayjen TNI Wiyarto. Seperti cinta pada pandangan pertama, demikian cinta Doni terhadap Maluku. Doni takjub pada keindahan teluk Ambon dan mengagumi kekayaan laut dan darat di wilayah Seribu Pulau tersebut.

Menjadi Pangdam XVI/Pattimura bukanlah pekerjaan yang mudah. Daerah pengabdiannya mencakup dua provinsi, yakni provinsi Maluku dan Maluku Utara. Lebih dari sekadar bentangan georgafis, luka sosial yang diderita masyarakat jauh lebih menantang. Konflik berbau SARA bak api dalam sekam.

Doni sadar, kekayaan alam yang berlimpah-ruah tidak akan memakmurkan rakyat Maluku selama mereka terus bertikai dan berselisih paham. Doni yakin, harus ada sebuah pendekatan baru untuk mendekatkan warga, terutama mereka yang terlibat konflik.

Sejak hari pertama menjabat Pangdam XVI/Pattimura, Doni berkesempatan melakukan kunjungan kerja ke berbagai kesatuan dan daerah. Dalam sejumlah pertemuan dengan masyarakat ini, timbul sejumlah permintaan kepada Pangdam untuk bisa menjadi mediator dan fasilitator dalam rangka mempertemukan pihak-pihak yang selama beberapa tahun terakhir terlibat konflik yang berkepanjangan.

Yang pertama dilakukan adalah proses pelatihan di Batalyon 733 dengan materi budi daya kelautan dan perkebunan. Dalam program ini, sejumlah perwakilan dari desa-desa yang terlibat konflik dilibatkan. Pendekatan kesejahteraan yang memaksimalkan kekayaan alam yang tersedia di wilayah Maluku kemudian dikenal dengan sebutan Emas Biru (Sektor Kelautan dan Perikanan) dan Emas Hijau (Sektor Pertanian, perkebunan, kehutanan).

Menurut Pendeta Prof Dr John Ruhulessin, Mayjen Doni memiliki pendekatan yang berbeda dari  yang ada selama ini. Doni tidak hanya melihat tugas TNI dalam hal pertahanan negara secara militer tetapi beliau melihatnya dari perspektif kesejahteraan masyarakat. Emas Biru berhubungan dengan budidaya laut dan Emas Hijau berhubungan dengan lingkungan.

“Beliau melihat dua agenda itu dengan kesejahteraan masyarakat Maluku dan bangsa secara keseluruhan. Mayjen Doni menyaksikan sendiri potensi kelautan yang luar biasa kaya dan bagaimana agar masyarakat bisa sejahtera. Dan beliau punya data yang cukup lengkap mengenai itu semua,” jelas Pendeta John kepada IndonesiaSatu.co, Senin (16/8). Mayjen Doni mengembangkan potensi tersebut dengan memberdayakan masyarakat dengan menyediakan bibit.

Tentang Emas Hijau, Mayjen Doni melihat potensi buah-buahan, hasil hutan yang luar biasa, lingkungan, tanah yang subur, banyak hasil buah yang kualitasnya tidak kalah dari yang ada di pulau Jawa. “Itu harus diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Cengkih dan pala dilestarikan demi kesejahteraan masyarakat,” kata Pendeta John.

Emas Putih

Selain Emas Hijau dan Emas Biru, Mayjen Doni punya agenda-agenda perdamaian dan persaudaraan. Mayjen Doni mengirim kelompok-kelompok masyarakat di Mamala-Morela (Islam) dan kelompok masyarakta Tobelo (Kristen) untuk beribadah di Mekah dan Yerusalem. “Saya menyebut itu sebagai “Emas Putih”.

Sebutan Emas Putih pertama kali dilontarkan Pendeta John ketika diminta untuk memberikan sambutan pada saat pelepasan peserta umroh masyarakat Mamala-Morela dan masyarakat Tobelo.

Menurut Pendeta John, pada dasarnya agama-agama itu berhubungan dan warna dasar agama-agama itu putih. “Terus saya menyebut bahwa selain Emas Biru dan Emas Hijau, saya menyebut lagi ada Emas Putih, karena tidak hanya pemberdayaan budidaya laut dan hutan tetapi beliau memberdayakan perdamaian di antara masyarakat,” tegas Pendeta John.

Ketika dimintai komentar soal keberhasilan program Mayjen Doni di Maluku, Pendeta John mengatakan, tidak berani memberikan penilaian dari sisi TNI. “Tapi bagi kami, beliau menjawab kebutuhan masyarakat. Beliau punya agenda-agenda kemasyarakatan yang luar biasa dan agenda pembinaan teritorial yang luar biasa. Saya ikut beberapa kegiatan dengan beliau,” papar Pendeta John.

Selain pengembangan pariwisata, ada juga bhakti sosial bagi masyarakat dan melibatkan peran TNI dalam kehidupan masyarakat. "Saya kira itu bagian dari tanggung jawab teritorial. Karena itu, menurut saya beliau berhasil,” ujar Pendeta John.

Selain dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dan kepala-kepala negeri, Mayjen Doni selalu membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah daerah, juga semua stakeholder. “Beliau tidak bekerja sendiri. Dari perspektif itu, beliau berhasil,”pungkas Pendeta John.

Uskup Terkesan

Uskup Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC terkesan dengan kehadiran Pangdam Doni Monardo di Maluku. “Beliau mengadakan pendekatan dengan masyarakat secara kreatif, bukan dengan kekerasan sebagaimana lazimnya seorang tentara. Beliau mengubah dengan kelembutan, dengan kerahiman, menekankan cinta kasih. Pusat dari Emas Hijau, Emas Biru, dan Emas Putih adalah mengangkat kembali harkat dan martabat manusia, bagaimana membuat mereka sejahtera, bagaimana membuat mereka damai. Itu semua yang dilakukannya dan menurut saya bagus sekali. Dia berhasil menurut saya,” tutur Uskup Mandagi kepada IndonesiaSatu.co.

Menurut Uskup Mandagi, Mayjen Doni berhasil karena pendekatan-pendekatan kemanusiaan. Misalnya di Mamala-Morela, yang selama ini terus berkelahi dan bertikai, sekarang sudah aman. Karena Pangdam menggarisbawahi pentingnya semua pihak mengupayakan kesejahteraan hidup, karena daerah Mamala-Morela itu daerah kaya, banyak ikan dan hasil bumi lainnya. Lebih baik mereka fokus mengangkat kesejahteraan daripada berkelahi dan makin miskin, dihantaui ketakutan.

“Pak Doni tidak hanya bilang mari kita angkat kesejahteraan, mari kita tangkap ikan, tapi pak Doni sendiri memberikan contoh dan teladan dengan adanya bagan-bagan dan sebagainya. Begitu juga dengan Emas Putih, dia mengadakan kunjungan-kunjungan ke masyarakat,” kata Uskup Mandagi.

Yang luar biasa, tambah Uskup Mandagi, Mayjen Doni berkunjung ke daerah Seram dan Haruku, di mana ada kampung yang terkenal selalu berteriak-teriak “merdeka”. Tapi karena pendekatannya yang baik akhirnya mereka tidak buat yang macam-macam. Bahkan ada beberapa anak muda dari kampung itu yang masuk tentara, padahal dulu mereka selalu disingkirkan. Pemerintah Indonesia terkesan bersikap diskriminatif terhadap mereka. Mereka tidak diterima menjadi tentara. “Fasilitas di kampung itu tidak diperhatikan. Sekarang mereka tidak lagi berteriak mau merdeka dan lain sebagainya,” kata Uskup Mandagi.

Ketika ditanya tentang upaya perdamaian di Mamala-Morela yang diprakarsai dan dimediasi oleh Mayjen Doni, Uskup Mandagi berkomentar, “Selama ini sering dilakukan ritual perdamaian, tapi biasanya setelah satu atau dua bulan pecah lagi. Namun sejak April sampai sekarang, suasana perdamaian di dua negeri masih kondusif. Ya, saya senang sekali dia sangat dekat dengan saya karena saya selalu beri dukungan,” ungkap Uskup Mandagi di akhir percakapan.

Jenderal Modern

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua MUI Maluku, Dr Abidin Wakano. Dalam perbincangannya dengan wartawan IndonesiaSatu.co dan Harian Republika di Masjid Al-Fatah, Ambon beberapa waktu lalu bersaksi, sudah banyak Pangdam dan Kapolda yang bertugas di Maluku tapi pertikaian tidak kunjung selesai. Pertikaian berulang, terutama pada tiga tahun terakhir.

“Saya kira Pangdam sangat berhasil karena memahami faktor-faktor yang melatari konflik secara baik,” kata Dr Abidin. Dituturkan Dr Abidin, penyelesaian konflik selama ini yang penting orang damai, selesai pergi, selesai pergi.

Menurut doktor lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, upaya perdamaian yang Pangdam lakukan bukan perdamaian pasif, tetapi perdamaian aktif melalui Emas Hijau dan Emas Biru, melalui pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya yang bisa menopang.

Doni melakukan pendekatan yang hebat, tidak perlu menggunakan senjata, masyarakat langsung merasa dekat. “Istilah kami di Maluku, terutama di kalangan perguruan tinggi, ini Jenderal yang modern, pendekatannya sangat civilized (manusiawi), bukan hanya untuk Mamala-Morela tapi juga yang lain,” tutur dosen Insitut Agama Islam Negeri Ambon serta dosen tamu pada program Pascasarjana Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM).

Penulis adalah Redaktur Pelaksana IndonesiaSatu.co

Komentar