Dokter Layanan Primer Perkuat Keberlanjutan JKN

Selasa, 10 November 2015 | 13:30 WIB
DM
B
Penulis: Dina Manafe | Editor: B1
Ilustrasi BPJS Kesehatan
Ilustrasi BPJS Kesehatan (Istimewa)

Jakarta - Tidak seimbangnya iuran peserta yang terkumpul dengan biaya pengobatan yang dikeluarkan membuat BPJS Kesehatan mengalami defisit setiap tahunnya. Tingginya kunjungan dan mahalnya biaya pengobatan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) menjadi sebagian pemicu.

Karena itu, penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama atau primer (FKTP), seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek umum oleh pemerintah menjadi sebuah keharusan. Ini penting untuk menjamin keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama ketika universal health coverage atau jaminan kesehatan menyeluruh pada 2019, dengan seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Kementerian Kesehatan (Kemkes) mendorong keberadaan Dokter Layanan Primer (DLP) lebih banyak untuk memperkuat faskes primer. DLP atau di Inggris disebut juga dengan general practitioner (GP) atau di Filipina sebagai family doctors (FD) secara resmi memang belum ada di Indonesia.

Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan, Prof Akmal Taher, mengatakan, DLP adalah profesi dokter yang mengkhususkan diri menjadi ahli dalam pelayanan kedokteran di faskes primer. DLP merupakan dokter umum di faskes primer yang mengambil pendidikan tambahan beberapa bidang spesialis.

"Jadi, bedanya hanya dari sisi kompetensi, dia lebih tinggi dari dokter umum, dan ilmunya sama dengan spesialis dalam berbagai bidang, yang tugasnya hanya untuk memperkuat layanan primer," kata Akmal dalam temu media di Jakarta, Senin (9/11).

Menurut Akmal, selama ini banyak pasien tidak tertangani di puskesmas dan dirujuk ke rumah sakit karena kompetensi dokternya terbatas. Bila kompetensi dokter ini dinaikkan, lebih banyak pasien tertangani di faskes primer. Tanggung jawab DLP nantinya bukan hanya mengobati pasien, tetapi juga melakukan pencegahan melalui pembinaan dan lainnya.

Di era JKN, menurut Akmal, DLP ini sangat menguntungkan. Bagi pasien, tidak perlu biaya transportasi, waktu, dan tenaga untuk mendatangi dua tempat layanan, yaitu faskes primer dan rumah sakit. Lebih untung lagi bila faskes primer itu ada dekat rumah.

Bagi negara, semakin banyak DLP yang menyelesaikan penyakit pasien di faskes primer dapat menghemat anggaran. Faktanya, yang menyerap anggaran paling besar dari BPJS Kesehatan adalah biaya pengobatan di rumah sakit. Kemkes menargetkan 90 persen penyakit diselesaikan di faskes primer, dan hanya 10 persen yang dirujuk ke faskes lanjutan.

"Keberlanjutan BPJS Kesehatan sangat tergantung seberapa banyak menahan pasien di layanan primer, bahkan mencegah orang sakit," kata Akmal.

Menurut Akmal yang juga pernah menjabat Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemkes, Norwegia dengan pendapatan penduduk tertinggi di dunia dan Jepang bahkan ingin beralih kepada penguatan faskes primer karena kewalahan dengan tingginya biaya pengobatan di faskes lanjutan. Indonesia dengan pendapatan menengah, sudah saatnya memprioritaskan layanan primer. Dengan 90.000 dokter di puskesmas saat ini potensial menjadi DLP.

Namun, tidak cukup hanya dengan meningkatkan kompetensi. Insentif yang memadai juga perlu ditingkatkan agar menarik lebih banyak DLP ke fakses primer. Misalnya, pendapatan disamakan dengan dokter spesialis karena memiliki pendidikan dan kompetensi yang sama.

"Faskes primer sebagai saka guru layanan kesehatan di Indonesia, tetapi di sini paling kurang dokter dan penghasilan paling rendah. Kalau dokter di puskesmas sekolah lagi, maka harus ada reward yang pantas," kata Akmal.

Kepala Departemer Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengakui, paling besar anggaran terserap untuk biaya pengobatan di rumah sakit. Tahun 2014, proporsi anggaran untuk rumah sakit mencapai Rp 34 triliun, jauh lebih besar dari faskes primer yang hanya Rp 8 triliun. Pola yang sama masih terjadi di 2015.

"Hal yang menyebabkan mahal itu karena memang lebih banyak penyakit kronis dan jumlah banyak, juga karena biaya satuan diagnosanya mahal, seperti cuci darah, operasi jantung, hemofilia, kanker, dan lainnya," kata Irfan, Selasa (10/11).

Namun, menurut Irfan, sistem rujukan yang diterapkan BPJS Kesehatan sudah berjalan. Kunjungan ke faskes primer jauh lebih tinggi dibanding faskes lanjutan. Di tahun 2014, kunjungan pasien ke faskes primer mencapai 61,7 juta, dan faskes lanjutan 21 jutaan. Angka rujukan ke faskes lanjutan pun cukup rendah, di bawah 30 persen.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News

Bagikan

BERITA LAINNYA

Loading..
ARTIKEL TERPOPULER





Foto Update Icon