Breaking News

POLITIK Perda Intoleran dan Diskriminatif Luput Perhatian Pemerintah 14 Jun 2016 09:07

Article image
Pesan toleransi Grand Syaikh al-Azhar. (Foto:satuislam.org)
Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah kaji Mendagri? Atau 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat Setara Institute?

JAKARTA,IndonesiaSatu.co -- Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah. Pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung.

Sebelumnya dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan. Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan.

Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengapresiasi sikap pemerintah tersebut. Namun, Ismail menyayangkan sikap pemerintah karena pembatalan dengan mekanisme pengawasan administratif oleh Kemendagri selaku organ pengawas pelaksana otonomi daerah tersebut hanya fokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang pada intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.

“Sementara perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran jender, dan diskriminatif terhadap perempuan luput dari perhatian Kemendagri,”ujarnya melalui siaran pers, Senin (13/6).

Ismail mencontohkan, kalaupun Kemendagri pada Mei 2015 mengklaim membatalkan perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan Aceh di atas pukul 23.00, namun faktanya, ketentuan tersebut tidak di atur dalam perda Aceh (qanun) melainkan Intruksi Walikota Banda Aceh No. 2 Tahun 2015, yang bukan merupakan obyek pembatalan.

“Sementara dalam kelompok 3.143 perda yang baru dibatalkan, Kemendagri pun tidak merilis detail jenis perdanya,”katanya.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa jenis perda tersebut adalah meliputi (a) perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, (b) menghambat proses perizinan dan investasi, (c) menghambat kemudahan berusaha, dan (d) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah kaji Mendagri? Atau apakah mencakup 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat oleh Setara Institute?,”tanya Ismail.

Terkait pembatalan ribuan perda itu, Ismail mengatakan, hampir dapat dipastikan hal itu menunjukkan bahwa kualitas legislasi daerah sangat rendah dan mekanisme preventif dalam pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri tidak berjalan optimal.

Ismail sangat menyayangkan sikap pemerintah yang dinilainya mengabaikan perda intoleransi dan diskriminatif.

“Di tengah solidaritas dan kecaman atas dampak perda diskriminatif di Kota Serang yang menimbulkan korban, seharusnya Kemendagri lebih bergegas tidak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi tapi juga penghapusan pelembagaan intoleransi dan diskriminasi dalam perda-perda diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia, karena perda-perda tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945,”kata Direktur Riset Setara Institute ini.

Menurut Ismail, kebutuhan mendesak yang dilakukan saat ini yaitu melakukan reformasi terhadap mekanisme legislasi daerah dan mekanisme yang memungkinkan adanya konsistensi pembentukan peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk dengan Konstitusi dan Pancasila.

“Ini merupakan kebutuhan nyata dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia,”ujarnya.

---

Komentar