Opini

Rawa Tripa dan Pemahaman Keliru

AKHIR-AKHIR ini media marak memberitakan tentang alih fungsi kawasan Rawa Tripa menjadi areal perkebunan sawit

Editor: bakri
Oleh Dedi Syahputra

AKHIR-AKHIR ini media marak memberitakan tentang alih fungsi kawasan Rawa Tripa menjadi areal perkebunan sawit. Tetapi, sejauh ini mungkin tak banyak orang yang tahu di mana Rawa Tripa, termasuk sebagian masyarakat Aceh sekalipun.

Selain hanya nama “Tripa” saja yang lebih familiar di telinga meskipun tak mengerti asal-usul makna di baliknya. Padahal, jika kita cari di mesin pencari Google, maka akan menampilkan begitu banyak referensi tentang Rawa Tripa. Kepopulerannya melampaui nama Nagan Raya, kabupaten di mana Rawa Tripa berada.

Tripa merupakan nama satu kemukiman di Kabupaten Nagan Raya, yang sekarang telah dimekarkan menjadi nama sebuah kecamatan, yaitu Kecamatan Tripa. Sesuai namanya sebagian besar lahan Rawa Tripa berada di Tripa, Nagan Raya dan sebagiannya lagi berada di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).

Rawa Tripa merupakan salah satu dari rawa gambut yg masih tersisa di Sumatera dan tiga rawa yang tersisa di Aceh, setelah Rawa Kluet dan Rawa Singkil. Kedua Rawa yang disebutkan terakhir telah masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Sedangkan Rawa Tripa statusnya masih mengambang dan menjadi perdebatan antara pemerintah dan pihak Manajemen Leuser.

Hal itu tidak menyurutkan upaya perambahan ilegal maupun pembukaan lahan untuk areal perkebunan, baik secara konvensiona oleh masyarakat maupun secara modern dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan yang telah mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari pemerintah.

Kini, sejumlah perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan dengan mengantongi HGU di Rawa Tripa, telah mengeksploitasi dan melakukan pengeringan lahan gambut secara kontinyu dan sistemastis. Dari 61.803 ha luas hutan Rawa Tripa, yang tersisa kini hanya 31.410 ha saja.

Rawa Tripa dikenal mempunyai banyak fungsi dan kemampuanya yang besar dalam meyimpan karbon, yaitu sekitar 50-100 juta ton karbon. Jumlah karbon yang tersimpan di rawa gambut (sekitar 1.300 ton/ha) hampir 10 kali lipat lebih besar daripada karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah yaitu sekitar (110 ton/ha).

Hal tersebut dikarenakan ketebalan gambut Rawa Tripa umumnya lebih dari 3 meter. Di sini juga menjadi tempat tinggalnya beberapa flora dan fauna langka seperti Orang Hutan, Harimau Sumatera, beruang, kayu seumantok (sejenis kayu yang kini sudah langka), kayu ulin, serta bermacam tanaman berkhasiat obat yang tak ternilai harganya.

Kawasan hutan gambut Rawa Tripa juga berfungsi sebagai penyimpanan air tawar, sumber mata pencaharian ikan lele, lokan, madu lebah dan rotan bagi masyarakat sekitar. Selain itu Rawa tripa mempunyai peran sebagai zona penyangga (buffer zone) dari gelombang Tsunami seperti pada 2004 lalu.

 Akar masalah
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Prof Dr Zainal Abidin, akar dari semua masalah yang ada muncul karena pemahaman yang keliru terhadap peran, fungsi dan manfaat Rawa Tripa.

Selama ini ada pandangan jika Rawa Tripa dibiarkan apa adanya seolah rawa itu menjadi sumber daya alam yang tidak berguna. Pandangan seperti itu telah mendorong konversi Rawa Tripa untuk peruntukkan sawit yang dianggap lebih bernilai ekonomis.

Prof Zainal memberi ilustrasi tentang banjir bandang yang terjadi di Aceh Timur dengan total kerugian 14 kali lipat pendapatan daerah dari sektor kehutanan pada tahun terjadinya bencana tersebut. Itu artinya, akumulasi pendapatan dari sektor kehutanan selama 14 tahun, musnah hanya dalam sehari.

Hingga kini pemerintah terus memberikan izin konversi (alih fungsi) Rawa Tripa menjadi perkebunan, hal itu menyebabkan penurunan permukaan tanah lahan gambut Rawa Tripa antara 5-10 cm per tahun. Hal ini jika tidak ada upaya yg serius dan konkret oleh semua pihak dalam menyelamatkan Rawa Tripa dan pemukiman sekitarnya yang terletak di bibir Samudera Hindia.

Dikhawatirkan dengan terjadinya penurunan permukaan tanah secara terus menerus di kawasan Rawa Tripa, dapat menyebabkan tenggelamnya daerah tersebut ke laut, paling lambat diperkirakan sekitar tahun 2025.

Jika itu terjadi kita hanya akan menemukan nama Rawa Tripa dalam literatur sejarah yang akan dibaca oleh anak cucu kita, seperti halnya kita cuma bisa mendengar nama spesies Harimau Jawa dan Harimau Bali yang kini telah punah. Siapa peduli?

* Dedi Syahputra
, Pemerhati Lingkungan, berdomisili di Nagan Raya.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved