Breaking News

OPINI Menjadi Kartini Modern yang Holistik 21 Apr 2016 05:42

Article image
Ilustrasi perjuangan Kartini. (Foto: dpdperindodepok.wordpress.com)
Merayakan Kartini adalah ”merayakan sebuah kegigihan menegakkan keadilan, perangi kemiskinan melalui dunia pendidikan.”

Oleh Santisima Gama*

MENGAPA Harus Kartini? Sosoknya mendapat tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia sehingga setiap tanggal 21 April bergaung memperingati hari Kartini. Bukankah masih ada pahlawan-pahlawan wanita lainnya yang juga berjasa bagi ibu pertiwi? Dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan kritis bagi kita. Tidak sulit menemukan jawabannya. Kisah perjuangan Kartini cukup unik sebab Ia tidak melawan penjajah secara fisik dan kasat mata, tetapi dengan cara halus menembus batas-batas pemikiran penjajah Belanda.

Pada 137 tahun silam, tepatnya 21 April 1879, Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara. Namun, dalam usianya 25 tahun yang masih terbilang muda, Kartini harus menutup mata bersama mimpi-mimpinya tentang masa depan perempuan Indonesia. Kartini adalah potret tragis perempuan di awal abad ke-20, ketika harkat perempuan dimaknai sebatas kanca wiking yang berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Riwayat hidupnya menggambarkan penderitaan perempuan  Jawa yang terpasung dalam tembok tradisi dan adat istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa yang begitu angkuh dan kukuh serta membatasi ruang gerak mereka. Perjuangannya ternyata tak pernah berhenti. Ia sumber inspirasi perempuan Indonesia, menjadi cikal bakal apa yang kemudian dikenal sebagai emansipasi.

Kartini mampu membuat gebrakan baru lewat tulisan surat-suratnya yang dibukukan. “Habis Gelap Terbitlah Terang” diterbitkan pada tahun 1911 amat populer menjadi  inspirasi bagi kaum perempuan di zaman ini. Sosok Kartini begitu berani menentang diskriminasi untuk membela kaumnya karena dia prihatin merasa tidak ada kesempatan bagi perempuan pada masanya untuk mengenyam pendidikan formal.Emansipasi ala Kartini diperjuangkan tidak sebatas pada cita-cita tentang tercapainya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dalam beberapa surat Kartini yang dikumpulkan Abendanon, kita bisa melihat bagaimana pemikiran seorang Kartini terutama tentang cita-cita dalam dunia pendidikan. Baginya pendidikan perempuan untuk membangun peradaban bangsa.

Nama Kartini begitu familiar dikalangan pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu. Terbitnya surat – surat Kartini sangat menarik perhatian masyarakat di Belanda. Pemikiran – pemikiran Kartini mulai mengubah perspektif masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi. Bahwa di masa itu ada figur  wanita yang memiliki gagasan–gagasan terstruktur  tentang emansipasi perempuan. Mereka menjadikan Kartini sebagai sosok pencerahan dan simbol perjuangan perempuan Indonesia khususnya di bidang pendidikan. Membaca sosok Kartini, terutama dalam surat-suratnya yang ia kirim pada sahabatnya yang bernama Rosa Abendanon di negeri Belanda, justru memperlihatkan kritik Kartini terhadap penjajahan. Surat-suratnya ibarat pisau bermata dua, satu menghujam penjajah kolonial, satu menusuk “penjajah” pribumi yaitu para priyayi yang hidup dalam kenyamanan di tengah penjajahan.

Secara lugas, Kartini menggugat tingkah polah kaum priyayi yang juga tak kalah kejinya dari penjajahan kolonial. Feodalisme tak kalah bengis dari kolonialisme. Bagi Kartini, kelakuan penjajah Belanda saat itu sesungguhnya setali tiga uang dengan para priyayi yang tanpa ragu-ragu melakukan penghisapan terhadap rakyat. Lebih jauh, emansipasi Kartini adalah sebuah upaya yang tiada henti tentang perjuangan melawan penindasan dan penghisapan yang melahirkan kemiskinan dan kebodohan yang dilakukan tak hanya oleh bangsa asing, tapi juga oleh bangsa sendiri. Pembodohan terhadap rakyat, tak bisa di-dikotomi persoalan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Beasiswa sekolah di Belanda yang menjadi jatah Kartini, diberikannya pada pemuda yang akan berperan dalam perjuangan kemajuan bangsa.

Menjadi Kartini modern yang holistik di zaman global ini mempunyai tantangan tersendiri. Kartini modern tidak hanya seorang wanita karier dengan pendidikan tinggi dan profesi bergengsi. Seorang ibu rumah tangga pun bisa dikatakan kartini modern ketika mampu menjadi sosok ibu yang cerdas dalam mengelola kehidupan keluarga. Dan akan lebih hebat lagi jika seorang ibu mampu berperan ganda baik sebagai wanita karier di luar rumah dan ketika jadi ibu sejati di dalam keluarga. Pendidikan menjadi hal pertama dan utama dalam fondasi keluarga, disinilah ibu berperan sangat vital.

Merayakan Kartini adalah ”merayakan sebuah kegigihan menegakkan keadilan, perangi kemiskinan melalui dunia pendidikan.” Apalah artinya jika pada moment Kartini, perempuan hanya berlengggak-lenggok mengenakan kebaya tanpa memaknai perjuangan seorang R.A. Kartini. Mari kita rayakan hari Kartini dengan melanjutkan nafas perjuangannya dalam sebuah tujuan yang jelas, bukan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok melainkan untuk tujuan bersama. Salam Kartini.

*) Mahasiswa Magister Sanata Dharma Yogyakarta (Kontributor IndonesiaSatu.co Yogyakarta) 

Komentar