Mungkinkah BI Rate Diturunkan Jadi 7%
Dr. Ari Kuncoro melihat suku bunga acuan tidak akan dengan mudah diturunkan. Kenapa?
Dr. Ari Kuncoro melihat suku bunga acuan tidak akan dengan mudah diturunkan. Kenapa?
Bareksa.com – Banyak pihak berharap Bank Indonesia (BI) sebagai pengendali kebijakan moneter dapat menurunkan BI Rate untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya untuk memacu konsumsi dalam negeri. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi indonesia di kuartal I-2015 melambat. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 5 persen.
Padahal, kontribusi konsumsi dalam perhitungan pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) mencapai 60 persen.
Sebelumnya, tim ekonom Mandiri Sekuritas telah memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,25 persen untuk menggenjot perekonomian Indonesia.
Promo Terbaru di Bareksa
Kebijakan menurunkan BI Rate memang dinilai bisa cepat kembali mendongkrak tingkat konsumsi dalam negeri. Suku bunga yang lebih rendah memungkinkan pelaku industri mencari sumber pendanaan yang lebih murah untuk mendorong ekspansi bisnisnya. Dan pada gilirannya, jika ekspansi bisnis berlangsung, industri akan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Lebih banyaknya serapan tenaga kerja membuat pendapatan masyarakat meningkat, yang pada akhirnya akan mendongkrak konsumsi masyarakat. Selain itu, kebijakan suku bunga rendah juga akan mendorong masyarakat untuk lebih membelanjakan uang mereka ketimbang memarkirnya di perbankan.
Namun, harapan tersebut sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini.
“Tidak bisa begitu saja pemerintah meminta BI untuk menurunkan BI Rate. BI mempunyai independensi untuk menaikkan atau menurunkan BI Rate,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro.
Pasalnya, beberapa indikator ekonomi yang menjadi patokan BI dalam menerapkan kebijakan moneternya belum memungkinkan BI untuk menurunkan BI Rate.
Menurutnya, BI masih perlu mencermati beberapa indikator ekonomi sebelum membuat kebijakan menurunkan suku bunga acuan.
“Bisa jadi pertimbangan BI, misalnya peluang terjadi capital outflow atau uang pada lari keluar negeri karena tingkat suku bunga kita lebih rendah dari negara lain. Sehingga, kalau uang asing banyak keluar akan menyebabkan kurs rupiah jeblok. Jadi, tidak begitu gampang.”
Kondisi serupa pernah terjadi di tahun 2013, ketika The Fed – bank sentral AS – memutuskan untuk mencabut program stimulus pembelian obligasi pemerintah AS. Terlebih data perekonomian Indonesia juga memburuk seiring membengkaknya defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan yang lebih dikenal dengan istilah twin deficit. Akibatnya, arus dana asing berbondong-bondong keluar Indonesia -- nilainya mencapai Rp20 triliun -- dari pasar saham dan obligasi. Imbasnya, rupiah terdepresiasi hingga 19,4 persen dan IHSG pun anjlok 26,56 persen dari 5.225, posisi tertingginya ketika itu.
Untuk menahan laju arus dana asing keluar ini, BI ketika itu memutuskan untuk menaikkan BI Rate secara bertahap menjadi 7,5 persen dari level sebelumnya yang bertahan cukup lama, 5,75 persen.
Grafik: Aliran Dana Asing pada Pasar Saham
Sumber: Bareksa
Selain capital outflow, variabel lain yang jadi perhatian BI adalah inflasi. “Kalau BI Rate diturunkan, dikhawatirkan akan memicu inflasi.”
Padahal, inflasi Indonesia saat ini yang mencapai 6,3 persen terbilang tinggi dibandingkan target BI. BI berharap dapat menjaga inflasi sepanjang tahun 2015 pada level 4±1 persen atau tiga hingga lima persen.
Ari berpandangan BI baru bisa menurunkan suku bunga ketika inflasi sudah lebih terkendali dan menunjukkan tren yang menurun. Seperti ditunjukkan data Bareksa berikut, BI Rate cenderung bergerak seiring dengan pergerakan inflasi.
Grafik: Inflasi Indonesia Periode 2005-2015
Sumber: Bareksa
Grafik: BI Rate Periode 2005-2015
Sumber: Bareksa
Ari menilai pemerintah dan BI masih bisa mengatasi perlambatan ekonomi ini, meski BI Rate tidak diturunkan.
“Bisa saja tingkat bunga tidak turun, tetapi kebijakan uang ketat BI lebih diperlonggar. Contohnya, syarat Giro Wajib Minimum (GMW) di bank diperlonggar seperti yang dilakukan China. Jadi tidak harus dengan menurunkan suku bunga.”
Langkah ini diterapkan Bank sentral China pada akhir bulan April lalu dengan menurunkan GMW sebesar 1 persen untuk mendorong pertumbuhan ekonominya yang mulai melambat. Ekonomi Tiongkok pada kuartal I-2015 hanya tumbuh 7 persen, level terendah sejak tahun 2009. (kd)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah | 1.311,79 | 0,68% | 3,10% | 0,02% | 6,29% | 20,00% | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.757,84 | 0,53% | 3,44% | 0,02% | 7,40% | 18,25% | 43,13% |
STAR Stable Income Fund | 1.908,88 | 0,50% | 2,87% | 0,01% | 6,27% | 31,65% | 59,98% |
Syailendra Pendapatan Tetap Premium | 1.762,89 | 0,50% | 2,81% | 0,01% | 5,44% | 20,06% | 48,78% |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.038,34 | 0,52% | 2,03% | 0,02% | 2,02% | - 2,73% | - |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.