Mencari Sapto (1)


“Mencari Sapto”
-Bagian Satu-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Uring-uringan terjadi antara Samsul – si suami, dan Heni – si istri, di toko mebel saat siang hari.

“Kamu dikasih tau ngeyel sih... Begini kan akibatnya?” Kesal Samsul pada Istrinya, Heni.

“Tidak menyangka akan begini pah... kan mamah niatnya baik? Mamah pengen nolong Sapto.” Heni membela diri.

Awal mula uring-uringan antara Samsul dan Heni adalah karena; ketika sampai toko, mereka tidak menemukan uang dua juta rupiah dalam laci. Bahkan sepersenpun tak ada. Sementara itu toko juga sepi. Benar-benar sepi. Mereka mencurigai; tidak adanya uang itu bersamaan dengan hilangnya Sapto, karyawan penjaga toko perabotan – mebel mereka yang masih muda, yang pernah ditemukan Heni lima hari yang lalu dari jalanan untuk kemudian dididik menjadi penjaga toko.

“Makanya kamu itu jangan gampang kasihan! Hati-hati dengan orang lain! Yang terlihat baik itu belum tentu baik!” Ujar Samsul dengan marah-marah, sambil mengobrak-abrik meja, dan sekelilingnya; mencari uang dua juta, ataupun suatu petunjuk.

“Ya awalnya mamah kira Sapto anaknya baik, pah. Dia anaknya penurut, mau jaga kebersihannya, mau bekerja keras, tidak seperti anak-anak jalanan yang lain, pah...” Kata Heni dengan berbelas-kasih.

“Aduh!” Samsul garuk-garuk kepala, ia jengkel tidak menemukan apa-apa, dan ia makin jengkel merasa istrinya sangat polos.

“Yasudah ya, pah? tidak perlu diperpanjang lagi, nanti kalo rejeki juga kembali.” Heni mengajak ikhlas.

Wealah, dua juta itu memangnya sedikit? Memangnya gampang cari uang dua juta?” Samsul tidak bisa menerima semuanya begitu saja.

“Ya terus gimana pah?” Muka Heni memelas.

“Kita lapor Polisi saja!”

“Yasudah, mamah ikut apa kata papah saja...”

Samsul dan Heni, bergegas menutup toko, menguncinya. Lalu Samsul menyetir dengan tergesa-gesa menuju POLSEK setempat.

Sampai di POLSEK, Samsul dan Heni kikuk. Bingung; siapa yang bernani menyampaikan laporan.

“Mamah saja yang bilang...” Kata Samsul setengah berbisik, sambil menyengol lengan Istrinya.

“Bagaimana sih? Papah saja... mamah nggak mengerti apa-apa...” Heni mendorong badan Suaminya, lalu memegangi lengannya dan seperti sedikit sembunyi.

“Jadi bagaimana bapak, ibu? Ada yang bisa dibantu?” Pak Polisi wajahnya tegas.

“Mmm... nganu pak. Saya dan istri mau melaporkan telah kehilangan uang, sebesar dua juta rupiah...” Akhirnya dengan terpaksa Samsul yang bicara. Membiarkan Istrinya sembunyi.

“Bagaimana kronologisnya pak?” Tanya pak Polisi dengan singkat dan lugas.

“Tadi itu gimana ya mah?” Samsul memandangi Istrinya yang sembunyi dibelakang ketiaknya.

“Pokoknya jam sepuluhan itu kita datang ke toko, uangnya nggak ada di laci kan, pah?” Tanya Heni pada suaminya.

“Ya sana ngomong sama pak Polisinya...” Samsul menyenggol-nyengol lengan Istrinya, lalu melirik ke pak Polisi.

“Maaf! Bisa diperjelas, pak, bu?” Hardik pak Polisi dengan tegas.

“Eh... nganu pak, saya kan tadi dapat telepon dari konsumen, katanya, konsumen saya itu membayarkan uang dua juta di toko. Uang dua juta itu untuk melunasi pembayaran perabotan kursi, pesanan konsumen saya itu...” Heni mulai memberanikan diri bicara pada pak Polisi, namun belum selesai, suaminya sudah memotong dan berseru-seru dengan menggebu-gebu.

“Nah! Kami mencurigai, Sapto yang mengambil uangnya, pak! Saat saya dan istri jam sepuluh sampai toko, toko sudah sepi! Uang dua juta tidak ada di laci! Sapto mencuri pak! Tangkap dia pak!” Tandas Samsul menggebu.

“Sebentar pak, bu... Sapto itu siapa?” Pak Polisi mengrenyitkan dahi, dan membetulkan posisi duduknya.

“Sapto itu karyawan kami... lima hari yang lalu istri saya ini nemu Sapto dipinggir jalan, sedang mengamen... tapi ternyata dia bukan pengamen, dia pencuri pak! Pencuri!” Tukas Samsul penuh emosi.

“Bapak! Saya mohon bapak untuk tenang...” Pak Polisi menghardik Samsul, tangannya mencegah.

“Eh, iya pak... maaf pak...” Samsul tertunduk ciut.

“Papah, makanya jangan emosi dulu... mbok sabar dulu... malu sama pak Polisi...” Omel Heni pada suaminya dengan setengah berbisik.

“Begini, pak, bu, sebelum mencurigai Sapto, saya ingin menanyakan; apa benar uang itu sudah sampai di toko? Apa benar Sapto menerimanya?” Tanya Pak Polisi dengan sabar.

“Ya jelas benar pak! wong istri saya sudah ditelepon konsumennya, katanya uangnya dibayarkan di toko!” Samsul mulai kumat lagi rasa kesalnya.

“Pak... bisa saya minta bapak untuk sabar?”

“Eh iya pak... maaf... sekali lagi maaf...”

“Ihhh!” dengan cepat Heni mencubit lengan suaminya karena gemas.

“Aduh sakit mah!” Samsul melirik istrinya tajam, dan mengelus-elus lengannya yang kena cubit.

“Begini pak, sebelum jauh-jauh menuduh Sapto, coba Bapak, Ibu, bisa membuktikan; bahwa benar konsumen anda sudah membayarkan uang dua juta itu di toko...”

Belum juga pak Polisi selesai bicara, Samsul sudah memotong.

“Buat apa to pak? wong sudah jelas, Sapto itu gelandangan. Konsumen kami itu namanya pak Andre Sarjana Ekonomi, dia pelanggan tetap sudah lebih dari dua tahun, orangnya baik, kaya, bisa dipercaya. Apa tidak cukup bukti, pak Polisi?”

“Ya bukan seperti itu pak. Bukti itu tidak berdasarkan rasa yakin atau curiga. Tapi bukti itu berdasarkan fakta. Sesuatu yang nyata... Sekarang coba Ibu...”

“Heni pak... Nama saya Ibu Heni...”

“Ya, Ibu Heni, coba ibu jelaskan isi percakapan antara ibu dengan pak... dengan pak... Andre? Ya, jelaskan isi percakapan dengan pak Andre Sarjana Ekonomi tadi.”

-BERSAMBUNG-

Yogyakarta, 27 Februari 2014

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH